Beranda | Artikel
Jelang Ramadhan (Bagian 6)
Selasa, 2 April 2019

Bab 6. Menggembleng Sifat Sabar

Para ulama telah menjelaskan bahwa sabar terbagi ke dalam 3 bagian; sabar dalam melaksanakan perintah Allah, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi musibah dan takdir yang terasa menyakitkan. Sabar bagi agama laksana kepala bagi segenap anggota badan.

Sabar menghimpun keyakinan terhadap kesempurnaan sifat-sifat Allah; bahwa Allah al-Hakim yang mahabijaksana yang mana tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali karena hal itu mendatangkan kebaikan bagi hamba-Nya. Tidaklah Allah melarang sesuatu melainkan karena hal itu membahayakan manusia. Dan tidaklah Allah menetapkan musibah yang melanda kecuali karena suatu hikmah yang sangat agung dan berlandaskan keadilan dari-Nya. Allah sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya. Musibah pun menjadi salah satu sebab terhapusnya dosa-dosa. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba maka Allah segerakan baginya hukuman atas dosanya di dunia. Apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah berikan cobaan kepadanya.

Banyak orang kembali kepada Allah ketika tertimpa musibah, sebaliknya tidak sedikit orang yang justru tenggelam dalam maksiat dan kezaliman ketika diberi limpahan harta dan kenikmatan dunia. Bisa jadi kita menyukai sesuatu -kekayaan harta, dsb- padahal itu tidak baik untuk kita, sebaliknya bisa jadi kita membenci sesuatu -musibah dalam hal dunia- padahal itu akan membuahkan kebaikan bagi kita. Allah yang mahamengetahui sedangkan kita tidak mengetahui apa-apa.

Tidak akan seorang hamba bisa merasakan lezatnya iman sampai dia menyadari bahwa musibah dalam perkara dunia yang Allah takdirkan untuknya adalah untuk kebaikan dirinya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah berikan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari). Demikianlah puasa melatih hamba untuk menahan perihnya lapar dan haus serta menahan diri dari hal-hal yang disenangi oleh nafsunya semata-mata demi mendapatkan kecintaan Rabbnya. Di sinilah letak kesabaran di dalam ibadah puasa. Kesabaran yang akan melindunginya dari meninggalkan kewajiban. Kesabaran yang akan membentenginya dari larut dalam dosa dan maksiat kepada Rabbnya. Kesabaran yang akan menguatkan jiwa tatkala berhadapan dengan musibah duniawi yang menimpa dirinya.

Seorang yang berpuasa akan menahan dirinya dari makan dan minum serta berbagai pembatal puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Dengan demikian setiap saat yang dilaluinya dalam masa puasa adalah bagian dari kesabaran. Ibadah puasa ini pun menuntut kita untuk tetap menjalankan kewajiban-kewajiban yang lainnya semacam sholat lima waktu. Puasa yang benar adalah yang memberikan kekuatan bagi pelakunya untuk tetap menjalankan kewajiban-kewajiban agama, bukan malah membuatnya malas dan meninggalkan kewajiban lainnya. Maka sungguh aneh apabila ada orang yang meninggalkan sholat dengan alasan karena sedang berpuasa.  

Para ulama telah menjelaskan bahwa kesabaran dikatakan benar apabila memenuhi 3 syarat; lillah, billah, dan ma’allah. Lillah artinya sabar itu dilakukan demi mencari keridhaan Allah, bukan untuk mencari sanjungan manusia. Billah artinya sabar itu ditegakkan di atas ketergantungan hati kepada Allah dan selalu memohon pertolongan kepada-Nya, tidak disertai ujub dan kesombongan. Ma’allah artinya sabar itu bersama dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya, bukan dalam hal yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Orang yang berpuasa menggembleng kesabaran dalam menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya pada waktu siang hari demi mendapatkan sesuatu yang lebih nikmat daripada makanan, minuman dan nafsu syahwat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah gantikan untuknya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad). Tidaklah penduduk surga meraih kenikmatan surga kecuali dengan bekal kesabaran mereka dalam beriman. Tidaklah ahli tauhid selamat dari kekalnya neraka melainkan karena kesabaran mereka untuk terus berada di atas tauhid hingga ajal tiba. Dan tidak mungkin seorang hamba bisa bersabar di atas agama ini kecuali dengan taufik dan pertolongan Allah semata.

Inilah –wallahu a’lam– salah satu rahasia mengapa di bulan puasa kaum muslimin lebih bersemangat dalam menunaikan amal salih dan kebaikan, walaupun pada waktu siang hari ketika mereka harus merasakan lapar dan haus hingga sore harinya. Tidak lain karena sabar memberikan kekuatan iman dan motivasi yang sangat kuat dalam melakukan ketaatan. Maka umat Islam pun lebih bersemangat untuk bersedekah, untuk membantu sesama, untuk mengerjakan sholat sunnah, untuk membaca Kitabullah, untuk mendengarkan nasihat dan kajian ilmu agama. Sesuatu yang pada umumnya jarang dijumpai dalam intensitas besar di luar bulan puasa; padahal di bulan-bulan itu -selain Ramadhan- mereka tidak terhimpit oleh perihnya lapar dan haus di siang harinya.      

Apabila seorang muslim bisa bersabar menahan apa-apa yang disukai oleh nafsunya -yang pada asalnya dihalalkan untuknya- selama siang hari pada saat berpuasa maka sudah semestinya seorang hamba menahan diri dari segala hal yang diharamkan Allah sepanjang hidupnya. Apabila seorang muslim tetap melanjutkan puasa walaupun cuaca terik dan panas matahari menyengat tubuhnya, maka tentunya dia akan lebih bersabar untuk tidak tergoda oleh bujuk rayu setan yang akan melemparkan dirinya ke dalam jurang neraka. Karena panasnya api neraka jauh lebih membakar dan mengelupas kulit kepala. Dia rela hidup dalam ‘penjara’ hukum-hukum syari’at di alam dunia yang sementara demi meraih surga di akhirat yang abadi selama-lamanya. Dengan sabar inilah seorang mukmin akan merasakan indahnya surga dunia sebelum menikmati surga di akhirat dengan segala kenikmatan di dalamnya. Para ulama mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga. Barangsiapa yan tidak memasukinya maka dia tidak akan masuk surga di akhirat.”

Orang yang sabar akan merasa ridha dengan hukum Islam dan takdir Allah. Dengan cara itulah dia bisa mencicipi manisnya iman dalam kehidupan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Malim bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari penduduk dunia; mereka keluar darinya dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling indah di dalamnya?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/jelang-ramadhan-bagian-6/